Rabu, 04 Januari 2012

KOPERASI KOPASSUS

KOPERASI

Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) cijantung

Disusun Oleh : Nama        kelompok  2EB10
ADITIYA AMANDA (20210181)
AGUNG MAULANA (20210297)
MUHAMAD WILDAN A (24210615)
MUHAMMAD RASYID (24210779)






Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, kami dapat mempersembahkan makalah ini yg berjudul ‘’Pengertian dan prinsip-prinsip koperasi’’ sebagai sumber pembelajaran bagi kami semua.

Sebagai penyusun kami sadar bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kita semua masih dalam tahap pembelajaran mohon harap dimaklumkan.

Kami berharap semoga makalah ini memberi manfaat untuk peningkatan pembelajarann km alam kegiatan perkkuliahan ini. Saran, kritik, dan koreksi yang bersifat positif senantiasa kami nantikan demi penyusunan makalah ini di edisi
yang akan datang



Penyusun



Nama Koperasi : Koperasi Group 3

Ketua Koperasi : Kapten Inf Charlie


Bendahara : Lettu Darmaji


Sekertaris Koperasi : Serda Mustakim


Angggota : Para Prajurit Kopassus Group 3 dan Staff


Lokasi : Jl. RA Fadillah Cijantung, Asrama Kopassus Jaktim



Ø  Sejarah

Koperasi Group 3 berdiri pada tanggal 11 April 1985 dan didirikan guna memberdayakan kesejateraan prajurit kopassus dan mengajarkan mengenai USAHA KECIL DAN MENENGAH dengan tujuan bisa berwira swasta bagi prajurit yang sudah pensiun .


Berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh Koperasi Kopassus Group 3 adalah :

1. Penghimpunan dana melalui tabungan dan simpanan

2. Penyaluran dana pembiayaan,Penyaluran kreatifitas
3. Jual beli

Barang-barang yang diperjual belikan :


1. Seragam Prajurit.

2. Perlengkapan yang di butuhkan prajurit.

3. Makanan dan minuman ringan.

4. Kebutuhan sehari hari keluarga prajurit.

Selasa, 03 Januari 2012

riview jurnal koperasi 28

Bayu Krisnamurthi
MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT

Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.

a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda.  Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.  Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.  Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank.  Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.  Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit. 
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.  Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank.  Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank.  Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor.  Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat.  Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi.  Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota.  Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini.  Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis.  Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD.  Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi”  atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses.  Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas.  Pola yang tidak hanya  ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi.  Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.

b.
FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup. 
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri. 
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi.  Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau  secara ‘bottom-up’.  Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian.  Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri.  Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2.  Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. 
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar.  Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya.  Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota.  Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi. 
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain.  Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi.  Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut.  Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.
4.  Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi. 
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota.  Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi.  Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.  
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri. 
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota.  Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi.  Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi.  Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis.  Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain.  Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi.  Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya.  Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini. 
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan.  Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.  
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’.  Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital.  Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.  
Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional.  Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya.  Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.

c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan  koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis).   Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial.  Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi. 
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan.   Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing.  Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia.  Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya.  Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi.  Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.  
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum. 
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank.  Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank.  Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA).  Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain.  Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan.  Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri.  Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.  
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang. 
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya.  Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya.  Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi  di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi. 
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar.  Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.  Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan.  Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut.  Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.  
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.  
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha).  Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi.  Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.  Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.  Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.  
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya. 
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah.  Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan.  Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih  tepat dan dibutuhkan.  
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat.  Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan.  Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi.  Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya.  Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti.    Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri.  Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.   Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.  
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah.  Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.  Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi  relatif terbatas.  Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri.  Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri.  Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya.   Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.  
d. CATATAN PENUTUP
Beberapa pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat.  Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri.  Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan.  Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.  Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif.  Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.  Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.---



Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi :
Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)



REVIEW JURNAL

I.        ABSTRAK

Koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.
Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.  Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank.  Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. 

II.      POINT POINT

1.      Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri
2.     Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi. 
3.     Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
4.     Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi. 
5.     Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a.     . luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota
b.    berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota
c.     berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota
d.    biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan,
e.     mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri


III.    PENUTUP

Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri.  Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.   Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian. Beberapa pemikiran yang telah diajukan kiranya membutuhkan setidaknya dua prasyarat.  Pertama, pendekatan pengembangan yang harus dilakukan adalah pendekatan pengembangan kelembagaan secara partisipatif dan menghindari pengembangan yang diberdasarkan pada ‘kepatuhan’ atas arahan dari lembaga lain. Masyarakat perlu ditumbuhkan kesadarannya untuk mampu mengambil keputusan sendiri demi kepentingan mereka sendiri.  Dalam hal ini proses pendidikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi menjadi faktor kunci yang sangat menentukan.  Kedua, diperlukan kerangka pengembangan yang memberikan apresiasi terhadap keragaman lokal, yang disertai oleh berbagai dukungan tidak langsung tetapi jelas memiliki semangat kepemihakan pada koperasi dan ekonomi rakyat.  Dengan demikian strategi pengembangan yang perlu dikembangkan adalah strategi yang partisipatif.  Hal ini akan membutuhkan perubahan pendekatan yang mendasar dibandingkan dengna strategi yang selama ini diterapkan.  Rekonsptualisasi sekaligus revitalisasi peran pemerintah akan menjadi faktor yang paling menentukan dalam perspektif pengembangan partisipatif ini.

riview jurnal koperasi 27

Mubyarto
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
I. Pendahuluan
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar 1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
Barangkali cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.

II
. KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/images/art3_gb1.gif 
Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Faktor utama mengapa  anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
Hal lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/images/art3_gb2.gif 
Pelonjakan nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal.  Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Demikian kiranya jelas bahwa Perguruan-perguruan Tinggi lain dapat dengan mudah “meniru” Kosudgama mendirikan koperasi di kampus masing-masing untuk membangkitkan (sistem) ekonomi kerakyatan. Syarat untuk berhasil tidak sulit dipenuhi jika koperasi benar-benar didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dari masyarakat kampus, apakah ia dosen, mahasiswa, atau karyawan. Modal yang dibutuhkan untuk membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.

III
. Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Kiranya jelas dari uraian pengalaman KOSUDGAMA yang digambarkan di atas, bahwa yang dimaksud ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya  menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Jika banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945. Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam pada itu buku-buku tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis oleh pakar-pakar ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan alasan yang kurang jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang terbit sebagai buku Indonesian Economics (Van Hoeve, 1966), belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral  Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Buku Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan  Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The 1920s were the “golden age” (hujan emas or “golden rain”) for smallholder rubber, long remembered among rural residents in Palembang, Jambi, and West and South Kalimantan. Consumption of both local and imported goods quickly increased. The number of motor cars in Palembang rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than 19000 bicycles and 17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi in 1920s ….. Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber regions in the Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).  
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak,  maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.

IV . Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh buku Economics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik. Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di Indonesia, sampai dengan krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet, tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom “profesional”.
Pemikiran yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di BAPPENAS.

Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal (1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda, menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun 1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak menolong untuk mengadakan pemerataan dan mewujudkan keadilan. Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE, 2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau, dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun secara politis Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan dapat dijadikan acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para pakar, khususnya pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam “model” pembangunan ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran liberalisasi dan globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai atau diilhami semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin dipertanyakan, dan dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global neoliberalisme. “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru (1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa  ini makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The straight forward view of development as an upward climb, common to all nations but with different countries at different stages, is misleading and certainly inadequate for the twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A Survey of Sustainable Development, Island Press, 2001) .
Demikian kini tidak hanya praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang melandasi praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun 1995 sudah terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics, kini terbit lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini menolak total ajaran ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna juga pengajarannya seperti “indoktrinasi”. Dalam buku lain, Economics as Religion (Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak ajaran Neoklasik yang sudah menjadi semacam agama.
Beneath the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of delivering religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH. Nelson, 2001, h. 20).
Alasan kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
1.       Austrian Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
2.       Post Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3.       Sraffian Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh komoditi.
4.       Complexity Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi. 
5.    Evolutionary Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Dari ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Menjelang krismon di Indonesia bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji sebagai salah satu “Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan pembagian pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia maupun pakar-pakar ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin ekonomi Indonesia mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan tahun 2001 dikatakan “ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom) telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya tidak mungkin melanda Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya. Kami sendiri pada tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker” yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.

V .
Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :
Man it  has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the himself was to derive no benefit form it. (Adam Smith, 1759 h. 9).
Dosa ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang mudah.
Kita tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau kesehatan, maka tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi dikatakan berperan sangat besar  dan menentukan dalam pembangunan nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.
Memang tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda, lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat, hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.
Salah satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan  makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.

VI . KESIMPULAN
Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.
Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Sekiranya sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi  pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi  Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.
Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya  yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila.

Juli 2002


Prof. Dr. Mubyarto:
Guru Besar FE - UGM

BACAAN
-    James A. Caporaso & David P. Levine, 1992. Theories of Political Economy, Cambridge University Press, Cambridge.
-    Paul Ekins & Manfred Max-Neef (ed). 1992, Real-Life Economics, Routledge. London-New York.
-    Steve Keen, 2001. Debunking Economics, Pluto Press-Zed Books, New York.
-    Daniel B. Klein (ed), 1999, What Do Economists Contribute, New York University Press, New York.
-    Robert H. Nelson, 2001. Economics as Religion. Pennsylvania State University, University Park.
-    Paul Ormerod, 1994. The Death of Economics, Faber  & Faber, London.


REVIEW JURNAL

I.              ABSTRAK

Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Faktor utama mengapa  anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
 Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. 
Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Barangkali cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.

II.            POINT POINT

1.     bahwa yang dimaksud ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
2.    Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia.
3.    Banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan)
4.    Buku Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”.

III.           PENUTUP

Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi.
Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi  Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.